Kekerasan di Perguruan Tinggi Kedinasan Kementerian Dalam Negeri

 Latar Belakang

    Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) merupakan lembaga pendidikan tinggi negeri yang memiliki ikatan dengan lembaga pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. Sistem pendidikan di beberapa PTK adalah semi militer. Semi militer memiliki arti sebagai sistem pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip militer. Namun untuk sebagian PTK yang berorientasi militer seperti Akmil, AAU, AAL, prinsip yang diterapkan murni militer, karena lulusannya akan berkecimpung di bidang tersebut. Semi militer memiliki beberapa aspek diantaranya yaitu seragam yang diddesain khusus dengan atribut-atribut tertentu, kerapian (rambut, pakaian, dan sepatu), senioritas yang tinggi, kegiatan fisik yang padat, dan kampus yang berasrama. Taruna adalah sebutan mahasiswa di Perguruan Tinggi Kedinasan.

      Pengertian seragam diuraikan menurut Linda Lumsden dan gabriel Miller ada dalam konteks fungsi seragam sekolah yang menekankan pada aspek kedisiplinan. Dimata orang awam, tujuan utama pemakaian seragam adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial, terkesan rapi, dan educated. Pengertian seragam sekolah secara umum adalah baju yang digunakan oleh siswa di suatu sekolah atau lembaga pendidikan tertentu sebagai lambang atau identitas diri dari suatu sekolah. Seragam jelas menunjukkan penampilan, status, penghasilan serta jabatan, banyak dari masyarakat yang suka terpesona dengan pribadi yang mengenakan seragam dinasnya. Penilaian khusus mereka yang memiliki pandangan nilai lebih kepada pribadi yang mengenakan seragam dinas antara lain adalah karena orang-orang yang berseragam ini terlihat lebih rapi, disiplin, dan memiliki masa depan yang jelas.

      Dari beberapa kasus kekerasan yang terjadi di sekolah kedinasan, sangat identik dengan senioritas. Tetapi sebenarnya daya tarik sesungguhnya terdapat pada seragam kedinasan tersebut. Pakaian seragam seolah-olah diagungkan disini. Pakaian seragam menempatkan pemakainya pada komunitas yang eksklusif. Eksklusivitas tersebut berbuntut harga diri dan keangkuhan yang membubung. Pakaian seragam kedinasan  tersebut seolah-olah mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan bagi taruna yang memakainya. Seragam kedinasan ini juga memperlihatkan bahwa orang yang memakainya harus mempunyai fisik dan mental yang kuat, dan memang merupakan tuntutan bagi semua taruna untuk dapat bertahan di pekerjaan mereka nantinya.

      Umumnya, sekolah yang memiliki tradisi kekerasan senior terhadap junior adalah sekolah kedinasan. Dimana ada interaksi yang sangat itens antara siswa-siswanya. Ditambah lagi dengan penanaman bahwa junior harus hormat dan tunduk pada senior. Hormat disini lebih diartikan “takut”, sehingga mereka yang kurang hormat perlu dihajar secara fisik. Pembentukan disiplin sering dijadikan alasan untuk berbuat kekerasan terhadap junior. Tradisi ini seolah mata rantai dendam yang terus dikobarkan. Kelak tahun depan, jika junior sudah naik tingkat II, mereka boleh berlaku serupa ke juniornya yang baru masuk. Kalau mereka sudah tingkat III, mereka punya kuasa untuk menegur siswa tingkat II dan menyiksa siswa tingkat I. Begitu seterusnya, selalu ada junior baru yang menjadi korban dan selalu ada senior yang merasa perlu melampiaskan dendamnya pada junior.

      Berikut beberapa berita kasus kekerasan di beberapa Perguruan Tinggi Kedinasan Pemerintahan :

Kasus Pertama : Tragis, Dimas tewas disiksa para seniornya di STIP Jakarta

Pelaku kekerasan adalah Senior STIP berinisial ANG, FACH dan AD. Mereka melakukan kekerasan tersebut di kosan senior yang terjadi pada jumat malam (25/4/2014).

      Seorang mahasiswa semester satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Dimas Dikita Handoko, tewas karena dianiaya para seniornya. Motif penganiayaan diduga karena Dimas dianggap tidak respek terhadap para seniornya.Para pelaku yang berjumlah tujuh orang ditegur oleh senior semester empat bila para korban tidak memiliki respek terhadap mereka (senior). Dimas beserta keenam temannya kemudian dipanggil ke kos para seniornya. Di sana mereka dipukul di bagian dada, perut dan ulu hati.Akibat tindakan kekerasan tersebut, Dimas tersungkur, namun tetap dipukul ketiga pelaku ANG, FACH dan AD. Dimas yang tidak berdaya akhirnya pingsan.

    Melihat Dimas pingsan, para pelaku menggosok minyak angin di hidungnya dan juga menciprat-ciprat air di wajah Dimas agar dia siuman. Dimas mengalami luka memar yang parah sehingga dibawa ke RS Pelabuhan Jakarta Utara. Namun, nyawanya sudah tidak tertolong lagi. Sedangkan keenam teman korban mengalami luka yang parah di bagian wajah, dada sampai perut.Dari hasil autopsi, korban Dimas mengalami pendarahan di otak karena benturan benda tumpul.

      Polisi telah mengamankan tiga pelaku yang diduga menganiaya Dimas dan empat orang lainnya berinisial SAT, WID, DE dan AR yang diduga menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap enam teman Dimas. Polisi juga telah mengamankan barang bukti berupa seragam korban, sebuah gayung berwarna merah dan minyak angin Fresh Care.

      Dimas tewas akibat dianiaya para seniornya pada Jumat (25/4/2014) malam. Keluarga curiga karena sejak beberapa hari dia mengaku sering mengalami tindakan kekeraaan dari para seniornya.Menurut polisis, selain Dimas yang dianiaya hingga tewas, enam orang temannya juga dianiaya para seniornya sampai mengalami luka parah di bagian wajah, dada hingga perut.Teman Dimas yang juga korban penganiayaan adalah Marvin Jonathan, Sidik Permana, Deni Hutabarat, Fahrurozi Siregar, Arif Permana dan Imanza Marpaung. Keenamnya juga merupakan mahasiswa semester satu STIP.

      Kematian Dimas seakan merupakan pembenaran bahwa di STIP kerap terjdi penyiksaan. Dua taruna sekolah itu yang berasal dari Sumatera Barat pada tahun 2008 mengundurkan diri dari sekolah tersebut karena tidak tahan dengan aksi kekerasan yang sering mereka alami. Dari taruna yang mengundurkan diri baru satu yang melapor ke kantor Gubernur Sumatera Barat.

      Isra Analdo, seorang taruna STIP yang berkampus di Marunda, Jakarta Utara mendatangi Kantor Gubernur Sumatera Barat. Taruna Sekolah Pelayaran yang masuk tahun 2007 tersebut melaporkan pengunduran dirinya dan seorang rekannya lagi yang juga asal Sumatera Barat karena tak tahan dengan aksi kekerasan yang sering mereka alami.

      Menurut Isra, aksi kekerasan oleh senior tersebut sering mereka alami pada saat pergantian jam pelajaran dan pada malam hari. Bagian tubuh yang sering menjadi sasaran pemukulan adalah sekitar dada, perut dan kemaluan.

      Tahun 2007 Pemprov Sumatera Barat mengirimkan 8 orang tamatan SMA untuk bersekolah di STIP Marunda, Jakarta Utara.

Berikut beberapa foto kekerasan atas dasar senioritas di STIP.

2amg_3161  0gggg1gg2gg3gg4

 

Kasus kedua : Kasus STPDN

Pelaku kekerasan adalah senior IPDN Sulawesi Utara. Pelaku melakukan kekerasan di kampus IPDN dan kematian korban terjadi pada 3 April 2007.

      Kasus Dimas ini juga mengingatkan kita pada kasus siswa IPDN, Cliff Muntu, yang juga tewas karena dianiaya para seniornya.Cliff Muntu lahir di Manado, 8 Juni 1987 – meninggal di Jatinangor, Sumedang, 3 April 2007 pada umur 19 tahun. Dia adalah Praja Madya (mahasiswa tingkat II) di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), anggota kontingen Provinsi Sulawesi Utara. Kematiannya pada 3 April 2007 menjadi puncak kritik masyarakat terhadap perilaku para mahasiswa senior lembaga pendidikan itu terhadap mahasiswa juniornya yang biasanya dinyatakan sebagai bagian dari pembentukan disiplin pada para calon aparat pemerintahan dalam negeri Indonesia.

      Pada 3 April 2007, Cliff tewas secara misterius di kampus IPDN. Hal ini mulanya dibantah oleh pihak IPDN yang menyatakan bahwa Cliff meninggal dunia di RS Al Islam, Bandung, namun dokter di rumah sakit itu menyatakan bahwa Cliff telah tewas ketika tiba di rumah sakit.

     Pihak IPDN terkesan berusaha menutup-nutupi sebab-sebab kematian Cliff. Pada bagian dada dan perutnya terdapat luka-luka bekas suntikan cairan formalin, yang diduga dilakukan untuk menghilangkan jejak penyebab kematiannya. Mula-mula muncul pernyataan bahwa Cliff tewas karena penyakit lever. Namun belakangan terungkap bahwa almarhum memang meninggal karena pendarahan pada organ dalam tubuhnya.

    Berdasarkan hasil otopsi tim forensik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, ditemukan bahwa jantung, paru-paru, limpa, hati, ginjal, otak, buah pelir dan dada praja itu mengalami pendarahan karena benturan benda tumpul pada tubuhnya. Ia mengalami bendungan pembuluh darah dan pendarahan luas di sejumlah organ tubuhnya. Pendarahan juga ditemukan pada otaknya, buah pelir dan kulit dadanya. Laporan yang sama menyebutkan bahwa pada tubuhnya tidak ditemukan tanda-tanda infeksi virus dan sisa-sisa narkoba.

     Jenazah Cliff Muntu dimakamkan pada 6 April 2007 di Taman Pemakaman Umum Kairagi 1 di Mapanget, Manado.

Kasus ketiga :

Pelaku merupakan senior IPDN Desa Tampusu kecamatan Remboken Minahasa. Pelaku melakukan kekerasan di lapangan Kampus IPDN Minahasa pada tanggal 27 Januari 2013.

     Tidak sedikit yang menjadi korban atas kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang dikelola Kementerian Dalam Negeri ini. Bahkan, putra bungsu Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Rinra Sujiwa Syahrul Putra (19) tidak mampu lepas dari kekerasan yang dilakukan para seniornya hingga tewas.  Kasus terakhir terjadi pada 27 Januari 2013, Yonoly Untayana menjadi korban tewas terakhir akibat dianiaya saat mengikuti Kegiatan Orientasi Lapangan di Kampus IPDN Desa Tampusu Kecamatan Remboken Minahasa.

21  images (2)

ipdn-foto-istimewaipdn_ilustrasi

hh1hh2 hh3hh4 hh5   

Teori – Teori Terkait

Jika dilihat dari beberapa teori psikologi, dapat disingkap hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang bertindak seperti kasus-kasus yang ada diatas, diantaranya :

Dipandang Dari Pendekatan Humanistik  Abraham Maslow Dengan Tingkatan Kebutuhan Pada Manusia

            Dalam Feist & Feist, 2012, Maslow mengungkapkan hierarki kebutuhan dari yang paling dasar sampai yang paling puncak. Kebutuhan paling mendasar dari manusia adalah kebutuhan fisiologis (physiological needs), termasuk didalamnya adalah makanan, air, oksigen, dll. Ketika orang telah memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka akan termotivasi dengan kebutuhan akan keamanan (safety needs), setelah itu terpenuhi maka mereka akan termotivasi untuk mendapatkan rasa cinta dan keberadaan (love and belongingness needs), setelah itu meeka akan mengejar kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), dan setelah semuanya terpenuhi maka orang secara otomatis akan bergerak menuju level aktualisasi diri.   Menurut Maslow, manusia yang “sehat” adalah mereka yang kebutuhan dasar dan sosialnya tidak lagi menjadi prioritas utama karena relatif sudah terpenuhi. Yang menjadi pendorong perilaku manusia “sehat” antara lain: mencari keadilan, keindahan, kesederhanaan, dll. Hal inilah yang termasuk dalam kebutuhan aktualisasi diri.

Dipandang Dari Teori Psikodinamika Sigmund Freud

     Sigmund Freud (Feist & Feist: 2012) mengatakan bahwa kecenderungan agresi pada semua orang terjadi karena id, ego, dan super ego tidak terintegrasi dengan baik. Mereka yang melakukan agresi memiliki id (prinsip kesenangan) yang tidak bisa mereka kendalikan dengan baik.

Dipandang Dari Kebutuhan Neurotik – Karen Horney

     Dalam 10 kategori kebutuhan neurotik Horney (Feist & Feist: 2012), terdapat kebutuhan neurotik akan kekuasaan (the neurotic need for power) terdapat beberapa kebutuhan neurotik yang terkait dengan kasus yaitu yang pertama kebutuhan akan kekuasaan biasanya dibarengi dengan adanya kebutuhan akan penghargaan sosial dan kepemilikan yang menjelma dalam bentuk kebutuhan untuk mengatur orang lain dan menghindari perasaan lemah. Selain itu ada kebutuhan neurotik akan kekaguman pribadi (the neurotic need for personal admiration). Orang-orang neurotik mempunyai kebutuhan untuk dikagumi atas diri mereka daripada atas apa yang mereka miliki. Harga diri mereka yang tinggi harus terus menerus ditunjang dengan kekaguman dan penerimaan dari orang lain.

Dipandang Dari Teori Kognitif Sosial – Bandura

      Salah satu konsep dasar Bandura (Feist & Feist: 2013) yaitu out with inner forces, suatu pandangan psikodinamik yang mengatakan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh “inner process” (dorongan, impuls, kebutuhan) yang seringkali tidak disadari. Perspektif Bandura mengatakan bahwa adanya hubungan yang resiprokal (saling mempengaruhi) antara tingkah laku, kognitif (faktor personal), dan lingkungan. Bandura yakin manusia belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Model belajar terbaru Bandura meliputi perilaku, pribadi/orang, dan lingkungan. Faktor-faktor perilaku, kognitif dan pribadi lain, serta pengaruh lingkungan bekerja secara interaktif. Perilaku dapat mempengaruhi kognisi dan sebaliknya, kegiatan kognisi seseorang dapat mempengaruhi lingkungan, pengaruh lingkungan dapat mengubah proses pemikiran orang dan seterusnya.

      Beberapa faktor menentukan apakah seseorang akan belajar dari seorang model dalam suatu situasi. Salah satunya adalah karakteristik model. Manusia lebih mungkin mengikuti orang yang memiliki status tinggi daripada yang memiliki status rendah, yang kompeten daripada yang tidak kompeten, dan yang memiliki kekuatan daripada yang tidak. Konsekuensi dari perilaku yang akan ditiru juga mempunyai pengaruh terhadap pihak yang melakukan observasi. Semakin besar nilai yang ditaruh seseorang yang melakukan observasi pada suatu perilaku, lebih memungkinakan untuk orang tersebut untuk mengambil perilaku tersebut.

Dipandang Dari Psikologi Individual – Alfred Adler

      Adler (Feist & Feist: 2012) mengatakan bahwa kekuatan dinamis dibalik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas pribadi (striving for success or superiority). Beberapa orang berjuang untuk meraih superioritas dengan sedikit atau tanpa memperhatikan orang lain. Tujuan mereka besifat personal dan usaha mereka dimotivasi sebagian besar oleh perasaan inferior yang berlebihan atau munculnya inferiority complex. Struktur kepribadian yang self-consistent berkembang menjadi gaya hidup seseorang dimana gaya hidup tersebut mencakup tujuan seseorang, konsep diri, perasaan terhadap orang lain, dan sikap terhadap dunia.

      Gaya hidup adalah hasil interaksi antara keturunan atau bawaan lahir, lingkungan dan dan daya kreatif yang dimiliki seseorang. Adler mengungkap berbagai penyebab seseorang tidak mampu menyesuaikan diri. Salah satunya faktornya adalah gaya hidup terabaikan. Anak-anak yang merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan akan membentuk gaya hidup yang terabaikan. Anak-anak yang disiksa dan diperlakukan tidak baik membuat mereka tidak memiliki rasa percaya pada orang lain dan tidak mampu bekerja sama untuk kebaikan bersama. Secara umum, mereka lebih mudah curiga dan memiliki kemungkinan lebih besar untuk membahayakan orang lain.

Dipandang Dari Psikologi Sosial : Adanya Motivasi Berkuasa Yang Mengarah Ke Agresi

      Dalam Baron & Byrne, 2003, ditunjukkan dalam berbagai cara; masalah ekspresi ini sangat tergantung pada status sosial ekonomi seseorang,  jenis kelamin (Hoyenga & Hoyenga dalam Morgan dkk. 1986) dalam buku Psikologi Umum, tingkat kedewasaan (Mc Clelland dalam Morgan dkk. 1986), dan tingkat ketakutan individu terhadap motif berkuasanya sendiri ( Mc Clelland dalam Morgan dkk. 1986). Beberapa cara yang dilakukan adalah seperti dengan tindakan yang impulsif dan agresif dan dengan memilih pekerjaan dimana orang dengan n.power tinggi percaya bahwa mereka punya kesempatan untuk mempengaruhi orang lain.

   Adanya motivasi agresi dalam diri seseorang. Dalam hal ini orang-orang tersebut menggunakan Hostile aggresion (tindakan agresi yang berasal dari perasaan marah dan bertujuan menimbulkan rasa sakit serta luka) dalam bentuk fisik, aktif, dan langsung (dengan memukul, meninju, menampar).

     Mengapa manusia mampu menyakiti orang lain ? dalam hal ini teori drive mengatakan bahwa agresi berasal dari adanya kondisi eksternal yang merangsang individu untuk menyakiti individu lain. Seperti dalam halnya kasus diatas, penghinaan verbal atau penilaian negatif dari orang lain dapat menjadi sumber agresi. Penghinaan seperti itu mungkin tidak begitu menyakitkan. Tetapi jika penghinaan itu dianggap sangat menyakitkan dan jika yang dihina merepon dengan tindakan yang membahayakan dialamatkan ke yang menghina, ini berarti penghinaan itu diinterpretasikan sebagai suatu tindakan yang agresif.

      Tindakan agresif ini memunculkan agresi pada orang yang dihina, dengan kata lain orang ini merespon dengan agresi balik. Dalam situasi umum dimana kita berusaha mempertahankan harga diri kita dimata orang lain, agresi balik untuk menghina adalah seperti mengintensifkan agresi asli, dan lingkaran setan dari reaksi ini akhirnya akan mengarah ke agresi fisik. Faktor penyebab agresi yang terjadi adalah faktor sosial yaitu provokasi verbal atau fisik. Manusia cenderung untuk membalas dengan derajat agresi yang sama atau sedikit lebih tinggi dari yang diterimanya (balas dendam). Menyepelekan dan merendahkan sebagai ekspresi arogan atau sombong, adalah prediktor yang kuat bagi munculnya agresi.

Teori Psikologi Sosial

Intimidasi – Memilih Orang Lain Sebagai Target Kekerasan Berulang

      Baron & Byrne, 2003 dalam buku Psikologi Sosial 2 menjelaskan bahwa intimidasi adalah perilaku dimana satu atau beberapa individu dipilih sebagai target dari agresi berulang oleh satu atau lebih orang; orang yang menjadi target (korban) umumnya memiliki kekuatan yang lebih lemah dibandingkan mereka yang terlibat dalam agresi (pelaku).

      Dalam penelitian mengenai karakteristik pelaku dan korban-korban intimidasi ditemukan, pertama, bahwa mereka berbeda dalam persepsi mengenai dunia sosial. Misalnya, pelaku cenderung untuk mempersepsikan orang lain berlaku sesuatu karena mereka merupakan orang yang seperti itu atau karena mereka bermaksud bertindak dalam cara itu (Smorti & Ciucci, 2000). Sebaliknya, korban cenderung untuk mempersepsikan orang lain berlaku sesuatu setidaknya sebagian karena mereka sedang merespon pada kondisi dari suatu peristiwa eksternal, termasuk bagaimana orang lain telah memperlakukan mereka.

      Apa yang diimplikasikan disini adalah bahwa pengintimidasi lebih mungkin daripada korban untuk jatuh pada bias atribusional hostile. Jadi, mereka menyerang orang lain secara berulang karena orang tersebut dipersepsikan berpotensi untuk menjadi berbahaya dan mereka berharap dapat menghambat lawan-lawan seperrti ini dari awal. Penemuan tambahan mengindikasikan bahwa orang- orang yang menjadi pelaku/korban lebih rendah dalam hal self-esteem, lebih rendah dalam hal belief bahwa mereka dapat mngontrol hasil akhir mereka sendiri, dan lebih tinggi dalam hal Machiavellianism – suatu kecenderungan untuk melakukan pendekatan yang kasar dan manipulatif dalam berhubungan dengan orang lain ( misalnya, Mynard & Joseph, 1997; Andreou, 2000).

Individu tidak memiliki ketrampilan sosial dasar

    Menurut Baron & Byrne, 2003 dalam buku Psikologi Sosial 2, mereka yang menjadi pelaku kekerasan tidak mengetahui bagaimana merespons provokasi dari orang lain dalam cara yang akan menenangkan orang lain ini alih-alih mengganggu mereka. Mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat permintaan atau bagaimana caranya untuk menolak permintaan orang lain tanpa membuat orang lain tersebut marah. Orang-orang yang memiliki keterampilan sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proporsi yang cukup tinggi di banyak masyarakat (Toch, 1985).

 

Analisa Kasus

Dipandang Dari Pendekatan Humanistik  Abraham Maslow Dengan Tingkatan Kebutuhan Pada Manusia

      Maslow mengungkapkan hierarki kebutuhan dari yang paling dasar sampai yang paling puncak. Kebutuhan paling mendasar dari manusia adalah kebutuhan fisiologis (physiological needs), termasuk didalamnya adalah makanan, air, oksigen, dll. Ketika orang telah memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka akan termotivasi dengan kebutuhan akan keamanan (safety needs), setelah itu terpenuhi maka mereka akan termotivasi untuk mendapatkan rasa cinta dan keberadaan (love and belongingness needs), setelah itu meeka akan mengejar kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), dan setelah semuanya terpenuhi maka orang secara otomatis akan bergerak menuju level aktualisasi diri.   Menurut Maslow, manusia yang “sehat” adalah mereka yang kebutuhan dasar dan sosialnya tidak lagi menjadi prioritas utama karena relatif sudah terpenuhi. Yang menjadi pendorong perilaku manusia “sehat” antara lain: mencari keadilan, keindahan, kesederhanaan, dll. Hal inilah yang termasuk dalam kebutuhan aktualisasi diri.

Penjelasan : Saat seseorang merasa perintahnya tidak dipatuhi oleh orang lain yang disuruh maka timbul rasa marah karena dirinya merasa tidak dihargai oleh orang tersebut. Ini terjadi pada kasus Dimas, dimana alasan senior tersebut melakukan penganiayaan padanya atas dasar Dimas dan teman-temannya tidak mengikuti perintahnya.

Dipandang Dari Teori Psikodinamika Sigmund Freud

      Kecenderungan agresi pada semua orang terjadi karena id, ego, dan super ego tidak terintegrasi dengan baik. Mereka yang melakukan agresi memiliki id (prinsip kesenangan) yang tidak bisa mereka kendalikan dengan baik.

Penjelasan :  Seseorang yang lebih mengutamakan id menguasai pikirannya maka perasaan seperti marah, balas dendam, dan pikiran jahat lainnya yang berusaha memuaskan perasaannya tidak dapat dikendalikan olehnya sehingga dia akan terus melakukan kekerasan seperti yang dilakukan para senior tersebut untuk memuaskan rasa kekesalan dan amarahnya. Dia tidak peduli akan keadaan korbannya asalkan keinginan tersebut sudah terpuaskan.

Dipandang Dari Kebutuhan Neurotik – Karen Horney

      Kebutuhan neurotik akan kekuasaan (the neurotic need for power) yang biasanya dibarengi dengan adanya kebutuhan akan penghargaan sosial dan kepemilikan yang menjelma dalam bentuk kebutuhan untuk mengatur orang lain dan menghindari perasaan lemah.

      Kebutuhan neurotik akan kekaguman pribadi (the neurotic need for personal admiration). Orang-orang neurotik mempunyai kebutuhan untuk dikagumi atas diri mereka daripada atas apa yang mereka miliki. Harga diri mereka yang tinggi harus terus menerus ditunjang dengan kekaguman dan penerimaan dari orang lain.

Penjelasan : Orang neurotik adalah orang yang kebutuhannya harus benar-benar terpenuhi. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi maka dia akan mencari cara agar kebutuhan tersebut bisa terpenuhi bagaimanapun caranya. Kebutuhan neurotik disini cenderung mengarah ke kekuasaan dan penghargaan diri. Dari berbagai kasus kekerasan di sekolah kedinasan, terlihat bahwa para senior sebagian besar memiliki kecenderungan neurotik dalam dirinya, dia merasa memiliki kekuasaan karena mereka sudah berada di tingkat atas dan memiliki wewenang untuk mengatur para junior. Selain itu, ada perasaan dalam diri mereka bahwa para junior juga harus bisa menghargai dan menghormati para senior.

Dipandang Dari Teori Kognitif Sosial – Bandura

      Adanya hubungan yang resiprokal (saling mempengaruhi) antara tingkah laku, kognitif (faktor personal), dan lingkungan. Faktor-faktor perilaku, kognitif dan pribadi lain, serta pengaruh lingkungan bekerja secara interaktif. Perilaku dapat mempengaruhi kognisi dan sebaliknya, kegiatan kognisi seseorang dapat mempengaruhi lingkungan, pengaruh lingkungan dapat mengubah proses pemikiran orang dan seterusnya.

Penjelasan : Para senior belajar mengadaptasi perilaku dari para seniornya terdahulu. Kita cenderung akan meniru seseorang yang menjadi panutan kita, seperti sosok yang kuat, berani, dan dihormati oleh semua orang. Begitu juga pola pemikiran para senior yang akan meniru para seniornya terdahulu untuk membuat mereka menjadi sosok yang terlihat kuat, berani, dan dihormati oleh para taruna junior sehingga junior tidak akan berani melawan mereka.

Dipandang Dari Psikologi Individual – Alfred Adler

      Kekuatan dinamis dibalik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas pribadi (striving for success or superiority).

Penjelasan : Para senior memiliki dorongan untuk memperlihatkan figur otoriter / superioritas di dalam dirinya. Saat seorang senior terlihat seperti sosok yang lemah dimata para junior, maka junior nantinya tidak akan menghormati senior tersebut. Maka, untuk menekan kelemahan itu, senior seolah-olah terus memperlihatkan sisi otoriter dalam dirinya agar ditakuti dan dihormati oleh juniornya.

      Salah satu faktor perilaku agresi adalah gaya hidup terabaikan. Anak-anak yang merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan akan membentuk gaya hidup yang terabaikan. Anak-anak yang disiksa dan diperlakukan tidak baik membuat mereka tidak memiliki rasa percaya pada orang lain dan tidak mampu bekerja sama untuk kebaikan bersama. Secara umum, mereka lebih mudah curiga dan memiliki kemungkinan lebih besar untuk membahayakan orang lain.

Penjelasan : Para senior mungkin pernah mengalami kekerasan seperti yang terjadi pada kasus-kasus yang ada. Seseorang yang pernah mengalami kekerasan baik di keluarga maupun di lingkungan sekolahnya, dia akan cenderung untuk membuat hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain kepadanya, istilah kasarnya seperti balas dendam. Karena dia menganggap bahwa orang lain juga harus merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan olehnya pada waktu dulu. Karena salah satu alasan inilah para senior selalu mengadakan perploncoan setiap tahunnya di sekolah dan menjadikannya sebagai ajang balas dendam.

Dipandang Dari Psikologi Sosial : Adanya Motivasi Berkuasa Yang Mengarah Ke Agresi

      Ditunjukkan dalam berbagai cara; masalah ekspresi berkuasa ini sangat tergantung pada status sosial ekonomi seseorang, jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan tingkat ketakutan individu terhadap motif berkuasanya sendiri. Beberapa cara yang dilakukan adalah seperti dengan tindakan yang impulsif dan agresif.

      Adanya motivasi agresi dalam diri seseorang dengan menggunakan Hostile aggresion (tindakan agresi yang berasal dari perasaan marah dan bertujuan menimbulkan rasa sakit serta luka) dalam bentuk fisik, aktif, dan langsung (dengan memukul, meninju, menampar).

Penjelasan : Adanya motivasi untuk berkuasa tetapi dengan cara melakukan kekerasan. Seseorang yang ingin berkuasa secara instan cenderung melakukan kekerasan untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Seperti seorang penguasa yang suka memerintah dan akan menghukum bila perintahnya tidak dijalankan. Hukuman itu biasanya langsung berupa hukuman fisik karena mereka menganggap kalau hukuman fisik adalah hukuman yang paling efektif untuk membuat para junior mengerti akan kesalahan mereka.

Teori Psikologi Sosial

Intimidasi – Memilih Orang Lain Sebagai Target Kekerasan Berulang

      Intimidasi adalah perilaku dimana satu atau beberapa individu dipilih sebagai target dari agresi berulang oleh satu atau lebih orang; orang yang menjadi target (korban) umumnya memiliki kekuatan yang lebih lemah dibandingkan mereka yang terlibat dalam agresi (pelaku).

Penjelasan : Pada kebanyakan kasus kekerasan di sekolah kedinasan tersebut, korban merupakan selalu di intimidasi oleh para senior. Senior selalu menetapkan junior yang akan mereka intimidasi terus menerus. Biasanya junior yang menjadi korban dianggap sebagai penghalang eksistensi mereka atau yang  dianggap lemah menurut mereka.

Individu tidak memiliki ketrampilan sosial dasar

      Mereka tidak mengetahui bagaimana merespons provokasi dari orang lain dalam cara yang akan menenangkan orang lain ini alih-alih mengganggu mereka. Mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat permintaan atau bagaimana caranya untuk menolak permintaan orang lain tanpa membuat orang lain tersebut marah. Orang-orang yang memiliki keterampilan sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proporsi yang cukup tinggi di banyak masyarakat (Toch, 1985).

Penjelasan : Seseorang yang dididik dalam keluarga yang baik, punya tata krama, dan diajarkan bersosialisasi dan cara menyelesaikan masalah dengan baik maka akan menghasilkan anak-anak yang juga baik dalam perbuatannya. Dalam hal keterampilan sosial itulah kita bisa melihat cara orang lain dalam menyelesaikan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. Para senior yang tidak memiliki keterampilan sosial dasar yang baik maka cenderung akan menyelesaikan masalah secara kasar dan berujung pada main fisik. Dia tidak mampu melakukan pendekatan yang baik terhadap orang yang bermasalah dengannya. Dia menganggap masalah akan selesai saat orang yang bermasalah dengannya tidak berkutik dihadapannya.

 

Kesimpulan

      Dari beberapa kasus kekerasan yang terjadi di sekolah kedinasan, dapat dilihat munculnya perilaku agresifitas pada pelaku kekerasan berhubungan erat dengan adanya rasa senioritas dan adanya penggunaan seragam saat terjadinya kasus. Status dan pakaian seragam seolah-olah diagungkan oleh pelaku dan pemakainya untuk mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan. Pembinaan dalam konteks pendidikan seharusnya jauh dari tindakan kekerasan fisik. Kekerasan fisik tidak boleh disalah artikan sebagai  pembinaan dengan tujuan hukuman tetapi seharusnya sebagai perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Ketika pembinaan keluar dari konteks pendidikan yang terjadi tindakan kekerasan tersebut akan terjadi turun temurun dan melahirkan kasus-kasus baru.

      Penyalahgunaan sistem pendidikan berbasis militer yang diterapkan di perguruan tinggi kedinasan digunakan para senior menjadi tradisi yang terus menerus diturunkan ke tahun-tahun selanjutnya dan seharusnya disadari oleh pihak sekolah. Oleh karena itu diperlukan kerjasama baik sekolah maupun dari mahasiswanya dalam mengawasi kegiatan-kegiatan pembinaan dalam kampus agar tidak terjadi lagi kasus-kasus kekerasan lainnya yang berujung pada kematian.

 

Saran

Beberapa Saran untuk mengurangi agresi:

      Pertama, pemaparan terhadap model nonagresif : Pertahanan yang menular. Jika pemaparan terhadap tindakan agresif yang dilakukan orang lain di media atau secara langsung dapat meningkatkan agresi, tampaklah memungkinkan bahwa pemaparan terhadap perilaku nonagresif menghasilkan dampak yang sebaliknya. Bahkan hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini memang benar. Ketika individu-individu yang telah diprovokasi diperlihatkan pada gambaran orang lain yang sedang mendemonstrasikan atau mengusahakan pertahanan diri, tendensi untuk terjadinya agresi berkurang. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa mungkin saja ada gunanya untuk menempatkan model nonagresif yang berusaha menahan diri dalam berbagai situasi tegang yang berpotensi menjadi berbahaya. Keberadaan model nonagresif dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekerasan terbuka yang terjadi.

         Kedua, pelatihan dalam keterampilan sosial : Belajar untuk memiiliki hubungan baik dengan orang lain. Dengan cara berusaha menahan (mengontrol) diri saat kita merasa  orang lain tidak bisa terwujud,

    Ketiga, mengatasi defisit kognitif. Salah satu tekniknya adalah preattribution – mengatribusikan tindakan mengganggu yang dilakukan orang lain pada penyebab yang tidak disengaja sebelum provokasi benar-benar terjadi. Misalnya, sebelum bertemu seseorang yang menurut kita mengesalkan, kita dapat mengingtakan diri sendiri bahwa dia tidak bermaksud membuat kita marah – tingkah lakunya merupakan hasil dari gaya pribadi yang tidak sepantasnya. Teknik yang lain adalah mencegah diri anda sendiri (atau orang lain) dari terhanyut pada kesalahan sebelumnya baik yang nyata maupun yang diimajinasikan.

 

 

Daftar Pustaka

Buku

Baron & Byrne. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2, cet. 10. Jakarta: Erlangga.

Feist & Feist. (2012). Teori Kepribadian, Buku 1, Edisi 7.  Jakarta: Salemba Humanika.

Feist & Feist. (2013). Teori Kepribadian, Buku 2, Edisi 7.  Jakarta: Salemba Humanika.

Riyanti, B.P. & Prabowo, Hendro. (1998). Psikologi Umum 2. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Internet

Hardi, Erick P, 2014, 1 Mei. “Mata Praja Putri IPDN Disiram Cairan Pel Lantai” Koran Online Tempo.

“Berita Harian Penganiayaan di STIP” Koran online Tempo.

Pratomo, Yulistyo, 2013, 14 Juni. “Deretan kasus hitam di sekolah pamong IPDN” Surat Kabar Online Merdeka.

Utama, Abraham, 2014, 28 April. “Kekerasan STIP bergeser ke luar asrama” Koran Online Tribun.

Leave a comment